pengusaha

Monday, May 7, 2007

Dilema Wirausahawan: Beberapa Hambatan Psikologis


Dilema Wirausahawan: Beberapa Hambatan Psikologis


Oleh Lilly H. Setiono

Team e-psikologi
Jakarta, 16 Juli 2002

Bagi seorang atau sekelompok wirausahawan, salah satu dilema yang umum dihadapi ketika perusahaannya menjadi berkembang adalah pilihan dalam menentukan gaya bisnis apa yang sebaiknya diterapkan di dalam manajemennya. Ketika perusahaan masih berskala kecil, manajemen keluarga masih bisa digunakan, tetapi semakin lebar perkembangan usaha maka gaya manajemen pun harus berkembang karena tidak lagi mampu dikelola oleh anggota keluarga. Banyak wirausahawan yang memilih untuk tidak mengembangkan perusahaan karena mereka tidak ingin kehilangan kemampuan untuk mengendalikan perusahaan yang dimilikinya. Bagi sebagian orang mengembangkan usaha lebih lanjut berarti harus merelakan dirinya untuk berbagi "kuasa" dan tanggungjawab kepada orang lain yang dianggap profesional. Disinilah dilema mulai terjadi, karena disatu sisi si wirausahawan ingin tetap memegang kendali usaha tetapi di sisi lain dia dihadapkan pada beberapa keterbatasan yang membuatnya tidak dapat lagi mengontrol semua hal dalam perusahaannya.

Pertanyaan yang layak kita ajukan kemudian adalah mengapa para wirausahawan cenderung menjadi ragu untuk mengubah gaya manajemen keluarga menjadi manajemen profesional? Hambatan-hambatan apa yang menjadi penghalang bagi wirausahawan untuk menyerahkan kendali perusahaan kepada para profesional yang diperkerjakannya? Artikel ini ditulis dalam rangka mencoba menjawab hal-hal tersebut.

Manajemen Keluarga vs Manajemen Profesional

Gaya bisnis dengan manajemen keluarga pada umumnya diterapkan pada awal berdirinya perusahaan karena memang kebutuhan akan gaya ini masih terasa sangat kental. Modal dan kegiatan usaha umumnya masih terbatas dan masih mampu ditangani oleh pemilik dan keluarganya. Karyawan yang direkrut dan dipekerjakan masih berkisar pada mereka yang berfungsi sebagai pembantu kegiatan operasional rutin dan bukan sebagai pemecah-masalah (problem solver) atau pembuat keputusan (decision maker). Strategi perusahaan tidak rumit, hanya sebatas bagaimana caranya mempertahankan kelangsungan bisnis dan tetap menghasilkan keuntungan. Manajemen hanya merupakan pengelolaan sumberdaya sederhana, tanpa perlu perhitungan bisnis atau perencanaan yang rumit. Selama perusahaan masih menghasilkan keuntungan yang diharapkan, strategi dan operasi tidak akan berubah banyak dari waktu ke waktu. Gaya ini sering dipakai untuk perusahaan skala menengah dan kecil dan dikenal sebagai “manajemen warung” karena industri yang sering menggunakan manajemen ini adalah industri distribusi dalam skala kecil dan bukan industri manufaktur, seperti misalnya industri ritel.

Jika perusahaan memiliki kesempatan untuk berkembang dan pemilik menghendaki/mampu memodali perkembangan itu, maka dia akan menambah investasi dan mengembangkannya. Kebutuhan sumberdaya akan bertambah mengikuti arah dan tujuan perkembangannya termasuk kebutuhan sumberdaya manusia untuk mengelola kegiatan operasional dan manajemen. Dengan kata lain pada tahapan ini si wirausahawan mulai memasuki gaya manajemen profesional. Di sinilah awal dilema seorang wirausahawan. Di satu sisi, ada keinginan untuk melipat gandakan keuntungan tetapi di sisi lain ada ketakutan dan rasa ketidak-pastian karena dengan gaya manajemen profesional ia harus mulai membagi tanggungjawab dan fungsi-fungsi lainnya di dalam perusahaan. Seorang wirausahawan yang memang memiliki “keberanian” atau “guts” untuk maju akan menggunakan setiap kesempatan “at all costs”, artinya dia akan mengejar kesempatan dengan atau tanpa memperhitungkan risiko-risiko yang ada di hadapannya. (Lihat Artikel: Risiko yang Dihadapi Wirausahawan)

Proses Adaptasi

Sehubungan dengan perubahan gaya manajemen keluarga ke manajemen profesional yang diterapkan oleh perusahaan maka secara otomatis akan terjadi pergeseran kendali dari pemilik kepada para profesional yang dipekerjakan oleh si pemilik. Dalam kenyataan seringkali dijumpai bahwa antara pemilik dan para profesional tidak memiliki kesamaan visi dan titik temu dalam memajukan perusahaan. Para pemilik yang seringkali terlalu bernafsu untuk mengembangkan perusahaannya seringkali merasa kecewa karena meskipun telah mempekerjakan para profesional yang terbaik dan sudah terkenal ternyata tidak banyak membawa angin perubahan yang mengarah pada kemajuan perusahaan. Sebaliknya para profesional yang merasa dirinya sangat kompeten seringkali menjadi bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa karena kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan atau pun visi dari si pemilik. Akhirnya tidak jarang hubungan kerja semacam ini justru berakhir dengan kekecewaan di kedua belah pihak.

Tak dapat dipungkiri, para wirausahawan dan profesional memerlukan waktu yang cukup banyak untuk berinteraksi, sehingga di antara mereka ada ikatan kesamaan dalam bekerja. Waktu interaksi ini tidak cukup didapatkan dari proses interview ketika akan masuk kerja tetapi justru banyak diperoleh dari komunikasi informal. Salah satu kesalahan para wirausahawan adalah melalaikan proses ini dan menganggap bahwa para profesional terbaik yang diperkerjakannya sudah akan otomatis mengerti akan keinginan, kebiasaan, dan pola pikir mereka.

Sebenarnya ada banyak cara bagi wirausahawan dan profesional untuk saling mengenal sebelum proses hiring difinalkan. Proses alami, tentu saja melalui pertemuan informal seperti makan siang atau hanya sekedar mengobrol biasa. Cara lain yang lebih cepat adalah dengan menggunakan jasa konsultan/ psikolog industri & organisasi yang bisa secara obyektif berfungsi sebagai mediator bagi percepatan ikatan ini. Para konsultan tersebut akan dapat membantu mencari titik temu antara kedua individu tersebut sehingga bisa mempercepat dan memperdalam proses interaksi supaya para profesional tidak terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengenal perusahaan dan para wirausahawan tidak salah memilih profesional yang tepat baginya. Keberadaan konsultan ini akan sangat bermanfaat terutama jika HRD internal perusahaan tidak terlalu kuat. Selain obyektif, seorang konsultan yang memahami masalah-masalah psikologis individu akan mampu menjembatani banyaknya rintangan (terutama menyangkut psychological barriers) yang ada di dalam diri para wirausahawan atau para profesional.

Hambatan Psikologis

Ketidak-mampuan seorang wirausahawan mempekerjakan profesional secara efektif seringkali disebabkan oleh faktor psikologis yang ada dalam diri sang wirausahawan sendiri. Ada banyak masalah psikologis yang menyebabkan seorang wirausahawan tidak mampu mempekerjakan atau bekerja sama dengan profesional. Beberapa di antaranya adalah:


Wirausahawan merasa tidak secure dengan dirinya sendiri sehingga ia takut mempekerjakan profesional yang lebih baik atau lebih pintar dari dirinya. Ketakutan itu umumnya berasal dari ketakutan akan kehilangan kekuasaan. Wirausahawan jenis ini memiliki tendensi untuk mempekerjakan profesional lebih berdasarkan loyalitas dan bukan kompetensi. Gaya kepemimpinan yang digunakan juga sangat otoriter untuk melindungi kerentanan dirinya. Dia tidak akan membiarkan para profesional yang dipekerjakan itu nampak lebih pintar atau lebih benar dari dirinya, bahkan sebisa mungkin dia akan sering membuat mereka “mati-kutu” dengan perdebatan-perdebatannya yang kadang-kadang tidak relevan atau ”terkesan mau menang sendiri”. Dalam kondisi demikian, para profesional seakan kehilangan kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri dan memilih untuk tidak mem-provokasi si wirausahawan. Keputusan yang semestinya mampu dibuat oleh para profesional ternyata tetap dipegang oleh si wirausahawan bahkan untuk hal-hal yang terkecil. Laporan diminta bukan untuk dipelajari tetapi untuk memberikan kesan bahwa yang memegang kekuasaan adalah si wirausahawan. Profesional pun menjadi kecil hati dan seringkali kehilangan rasa percaya diri.

Masalah lainnya adalah ketakutan dibohongi atau dikhianati oleh profesional sehingga mengakibatkan rendahnya rasa saling percaya antara wirausahawan dengan profesionalnya. Wirausahawan curiga dan para profesional takut dicurigai. Akibatnya, interaksi antara wirausahawan dengan profesional menjadi sangat tidak sehat. Kesalahan demi kesalahan dijadikan “justification” bagi wirausahawan untuk membenarkan kecurigaannya. Di lain pihak, jika seandainya si wirausahawan memutuskan untuk mempercayai seseorang, maka dia akan menjadi sangat percaya pada orang tersebut apalagi jika profesional/manager yang dipekerjakannya menunjukkan “perceived loyalty”. Dalam hal ini kompetensi menjadi elemen nomor ke sekian.

Wirausahawan seringkali salah dalam menilai para profesional (false intuition) . Penilaian seorang wirausahawan terhadap orang lain sangat dipengaruhi oleh beberapa keadaan: kemampuan wirausahawan untuk mengobservasi dan menilai secara obyektif, kemampuan memperhitungkan keadaan lingkungan (situational context) yang mempengaruhi tindakan orang lain dan kemampuan menganalisa dan memprediksikan keadaan bisnis di masa datang yang juga turut mempengaruhi perilaku atau pola pikir profesional. Kesalahan wirausahawan, terutama yang belum berpengalaman, adalah menilai dari sudut pandangnya sendiri tanpa menimbang sudut pandang orang lain, sehingga penilaian hanya terjadi sepihak dan subyektif. Jika hal ini didampingi oleh kerendahan hati si wirausahawan, maka profesional akan berani mengemukakan pandangannya. Dan dialog terbuka akan membawa pada keputusan yang lebih efektif. Celakanya, banyak wirausahawan yang merasa pandangannya lah yang paling benar, arogan dan tidak mau menerima pandangan profesional yang dipekerjakannya. Juga tidak mau/mampu menjelaskan alasan mengapa ia memiliki pandangan tersebut. Seringkali kata kunci adalah: "Pokoknya........" Dengan kondisi demikian, lama-kelamaan, para profesional akan menekan keahlian yang dimilikinya dan cenderung hanya menuruti asumsi si wirausahawan.

Wirausahawan tidak bisa menghargai para profesional dan menganggap profesional hanyalah salah satu komoditas yang bisa dijual-belikan. Dia bersikap sebagai pembeli dan si profesional tidak lebih dari penjual keahlian. Profesional tidak lagi diterima sebagai manusia dengan derajat yang sama, melainkan mesin yang bisa diperah karena sudah dibeli dan dibayar mahal. Si wirausahawan merasa bahwa profesional yang “dibeli dan dibayar” tidak boleh membantah dan hanya perlu menurut saja.

Wirausahawan dengan masalah-masalah di atas membawa dampak buruk pada perusahaan, di antaranya:

Tendensi untuk mem-falsifikasi data. Para profesional di beri peluang hanya untuk memberi data yang membuat hati si usahawan ini senang, terutama yang berhubungan dengan illusion of success.

Profesional tidak menjadi dirinya sendiri tapi menjadi kepanjangan tangan pemilik. Potensi kepintaran, keahlian dan identitas profesional yang ada menjadi redup di dalam perusahaan tersebut. Kreativitas mandek dan perasaan tidak berguna mulai tertanam sedikit-demi sedikit. Produktivitas menurun dan timbul rasa tidak percaya diri.

Profesional menjadi “bonsai-bonsai” yang tidak bisa tumbuh secara alami karena setiap ide atau solusi yang dimilikinya tidak terpakai, padahal kesalahan tidak ada padanya.

Profesional merasa dimanipulasi oleh majikannya dan perasaan ini mendorong/memotivasi profesional untuk membalas dengan melakukan tindakan destruktif yang merugikan perusahaan, misalnya penyalahgunaan wewenang, korupsi atau pencurian.

Di sisi lain, besar kemungkinan bahwa seorang profesional juga memiliki masalah psikologis yang mampu secara langsung atau tidak langsung mencelakakan perusahaan, si wirausahawan atau diri si profesional itu sendiri. Ada dua kemungkinan di mana keadaan psikologis si profesional dapat membahayakan perusahaan:

Pada saat para profesional merasa keahlian mereka pasti benar dan mutlak. Akibatnya mereka menjadi tinggi-hati dan tidak mengerti akan ketakutan atau keraguan si wirausahawan, sehingga mengambil risiko-risiko bisnis tanpa mempertimbangkan apa yang pernah dialami oleh wirausahawan di masa lalu atau keadaan psikologis mereka saat itu. Sikap ini bisa merupakan arogansi keahlian, terutama jika wirausahawan memiliki wawasan atau pendidikan yang lebih rendah, atau merupakan mekanisme pertahanan diri karena profesional tersebut merasa tertekan di dalam pekerjaan mereka. (Baca juga artikel: Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri)

Pada saat para profesional merasa takut untuk membuat keputusan karena tidak mampu menghadapi risiko kehilangan atau kesalahan. Rasa tanggung jawab yang begitu besar bisa membuat seorang profesional merasa kecil atau kehilangan rasa percaya diri. Ia juga merasa bahwa kegagalan perusahaan adalah kegagalan pribadinya sendiri. Jika keahliannya tidak melebihi kemampuan untuk mengendalikan risiko-risiko ini, maka dia cenderung untuk tetap bergantung pada keputusan si wirausahawan. Salah satu solusinya adalah meningkatkan kompetensi yang dimilikinya atau menyelesaikan masalah psikologis yang dimilikinya sehingga tidak lagi mempengaruhi kemampuannya berkarya.

Beberapa Saran

Sebagai wirausahawan, beberapa kiat berikut ini mungkin layak Anda pertimbangkan dalam memilih para profesional yang tepat untuk membantu anda mengelola bisnis anda.
Sadarilah keadaan psikologis diri sendiri karena itu yang menjadi titik terlemah dalam memilih alternatif solusi dan pembuatan keputusan. Self-awareness akan membuat wirausahawan mampu keluar dari ketakutan-ketakutannya. Konsultasi psikologis bisa dilakukan sebagai dasar atau awal pengenalan diri guna memahami faktor-faktor yang merupakan kelebihan atau pun kekurangan yang dimiliki. (Baca juga artikel: EQ dalam Kepemimpinan & Tanda-tanda Kedewasaan Seorang Pemimpin)

Untuk posisi eksekutif puncak yang bergerak di strategic level, carilah mereka yang memiliki visi yang sama, stamina yang prima dan kemampuan analisis yang baik. Jangan kita memilih hanya karena dia punya reputasi yang baik saja, tetapi lebih karena dia memiliki potensi untuk menjadi baik di masa yang akan datang.

Untuk posisi profesional di level operasional, sebaiknya di pilih profesional yang keahliannya jauh lebih baik dari pemilik, tapi di samping itu dia juga memiliki kemampuan untuk menyelaraskan keahlian ini dengan visi dan tujuan perusahaan. Salah satu kesalahan wirausahawan adalah membajak profesional yang memiliki track record of success di perusahaan lain tetapi lupa mempertimbangkan bahwa kesuksesan mereka di perusahaan lain sangat tergantung pada kondisi perusahaan itu sehingga ketika dia mesti berkiprah di perusahaan baru dengan kondisi yang lain, itu malah menjadi awal dari kehancuran karir profesional tersebut. Richard Ritti & Ray Funkhouser (1987) dalam buku "The Ropes to Skip & The Ropes to Know" menyebutnya sebagai "The Peter Principle” – mengacu pada karakter kartun Peter Pan yang suka mengejar bayang-bayangnya sendiri dan hanya bermain di dunia fantasy. Julukan ini diberikan pada para profesional yang dipromosikan pada ke sebuah level di mana dia tidak mampu lagi menjadi produktif tetapi malah menjadikan perusahaan play-land di mana dia mengejar bayang-bayangnya (citra, kesuksesan masa lalu, cita-cita).

Belajar untuk menghargai profesional sebagai seorang individu yang memiliki kepribadian sendiri disamping keahliannya. Membiarkan profesional yang dipekerjakan menjadi dirinya sendiri berarti membuat potensi dan keahliannya berkembang sehinggga bisa menjadi lebih kreatif dan produktif. Kontrol dan rasa curiga yang berlebihan malah akan mencelakakan kedua-belah pihak.

Sehebat atau sepintar apapun seorang profesional, ia tetap akan memerlukan visi atau arah perjalanan perusahaan. Ia juga perlu kejelasan akan batasan kewenangan dan tanggung jawab sehingga ia berani membuat keputusan dan mencari solusi yang tepat. Selain itu, berikan kesempatan untuk mandiri. Seorang profesional sejati tidak akan pernah mampu bekerja jika ia terus didikte, dikontrol atau dicurigai.

Sementara bagi para profesional, dibutuhkan sejumlah karakter agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Beberapa karakter yang harus dimiliki tersebut antara lain:
Kesadaran bahwa ia tetap profesional dan bukan pemilik. Ia harus mampu mengerti tentang pandangan para pemilik/wirausahawan. Para profesional juga harus bisa mengerti bahwa pemilik memiliki pengalaman, keinginan, cita-cita, dan cara pandang tertentu yang mungkin tidak dimilikinya. Galilah hal-hal ini pada proses adaptasi.

Kemampuan untuk menterjemahkan keinginan pemilik, menggunakan keahliannya untuk menyelaraskan dengan keadaan operasional dan membuat keinginan itu terlaksana secara nyata. Hal ini tidak bisa diberikan dengan membuat laporan yang sarat dengan ilusi sukses untuk kepentingan diri sendiri, sebab suatu saat ilusi itu akan terungkap juga. Kasus Enron, Worldcom and Xerox yang akhir-akhir ini marak menghiasi media bisnis terjadi karena mekanisme ini. Dalam kasus-kasus tersebut, profesional hanya peduli pada keinginannya sendiri (mendapat uang sebanyak mungkin) dengan mendongkrak nilai saham dengan manuver akunting yang jelas-jelas menyalah gunakan kepercayaan si pemilik (publik)

Mampu menjembatani kesenjangan komunikasi antara pemilik dan bawahan. Para pemilik biasanya melihat bisnis dan perusahaannya dari sisi makro, sedangkan pekerja melihat dari sisi mikro (sebatas pekerjaan dalam departemen atau divisinya sendiri). Eksekutif profesional harus mampu membedakan kedua sisi ini dan mengkomunikasikan sebagian sisi makro pemilik untuk pekerja dan sebagian sisi mikro pekerja pada pemilik sehingga ada saling pengertian di antara kedua sisi ini yang akan termanifestasikan ke dalam kebijaksanaan perusahaan yang memang betul-betul bijak. Dengan demikian, tidak ada lagi persepsi bahwa perusahaan hanya bisa memeras pekerja atau pekerja yang hanya menumpang hidup pada perusahaan.

Mampu memberikan alternatif solusi yang tidak dilihat oleh para pemilik. Kelebihan profesional yang diinginkan oleh para pemilik adalah kemampuannya memecahkan masalah dan memberikan solusi. Seringkali, karena beberapa hal para profesional datang kepada pemilik dan memberikan masalah yang dihadapinya tanpa disertai solusi. Fungsi profesional seperti ini hanya merupakan “messenger” saja dan tidak mencerminkan profesionalisme mereka. Pemilik merasa terkecoh, sebab keinginannya dengan mempekerjakan profesional tidak terpenuhi. Dia malah lebih bingung dalam menilai karena mungkin saja pendapat profesional itu tidak sama dengan pendapatnya sendiri. (jp)

Mentalitas Wirausahawan


Mentalitas Wirausahawan

Oleh Lilly H. Setiono

Team e-psikologi
Jakarta, 1 Agustus 2002

Selama tahun 2002 ini, kondisi negara kita di berbagai bidang tidak menunjukkan perubahan berarti. Kebijakan pemerintah masih simpang siur, hukum semakin tidak jelas, dan kondisi sosial kian tidak menentu. Di bidang ekonomi, tidak ada perubahan kearah yang lebih baik. PHK tetap berlangsung karena banyak wirausahawan tidak lagi berminat memulai atau mengembangkan usahanya dan para investor asing sudah banyak yang memutuskan untuk memindahkan usahanya ke negara lain yang lebih menjanjikan.

Di sisi lain, jumlah populasi dengan usia produktif tidak bisa begitu saja menganggur. Hidup tetap harus berjalan dan penghasilan tetap mesti dicari untuk menutupi biaya hidup yang kian mahal. Berbagai ide bisnis bermunculan dan di diskusikan dalam berbagai pertemuan baik formal maupun informal. Sebagian ide tersebut memang hanya merupakan “mimpi yang indah” tetapi sebagian lagi ditanggapi dengan antusiasme yang tinggi. Dari hal ini terlihat bahwa masyarakat kita justru merasa terpacu ketika dihadapkan pada suatu krisis yang berkepanjangan. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan Ralph Stacey (1997) dalam tulisannya berjudul "Excitement and Tension at the Edge of Chaos" yang mengatakan bahwa kreativitas cenderung meningkat pada saat situasi semakin parah, atau sering disebut dengan istilah populernya "kreatif karena kepepet". Jika asumsi Stacey ini benar, sangat mungkin “mimpi-mimpi indah” itu sudah ada di benak banyak sekali penduduk Indonesia yang secara kreatif dan positif menginginkan perubahan.

Masalahnya sekarang, bagaimanakah mewujudkan jutaan mimpi indah itu menjadi kenyataan? Apa saja faktor-faktor psikologis yang harus dimiliki sang wirausaha sehingga dapat mewujudkan mimpi indahnya tersebut? Artikel ini ditulis dengan harapan dapat inspirasi bagi para pemilik mimpi indah supaya mereka bisa mempersiapkan diri dalam usaha mereka membuat mimpi itu menjadi kenyataan.

Beberapa Alternatif

Bagi orang-orang yang memiliki "mimpi-mimpi indah", ada beberapa alternatif yang dapat dipilih untuk mewujudkan mimpi tersebut. Beberapa alternatif tersebut diantaranya:

1.
Menjadi wirausahawan mandiri


Untuk menjadi seorang wirausahawan mandiri, berbagai jenis modal mesti dimiliki. Ada 3 jenis modal utama yang menjadi syarat: (1) sumber daya internal yang merupakan bagian dari pribadi calon wirausahawan misalnya kepintaran, ketrampilan, kemampuan menganalisa dan menghitung risiko, keberanian atau visi jauh ke depan. (2) sumber daya eksternal, misalnya uang yang cukup untuk membiayai modal usaha dan modal kerja, social network dan jalur demand/supply, dan lain sebagainya. (3) faktor X, misalnya kesempatan dan keberuntungan. Seorang calon usahawan harus menghitung dengan seksama apakah ke-3 sumber daya ini ia miliki sebagai modal. Jika faktor-faktor itu dimilikinya, maka ia akan merasa optimis dan keputusan untuk membuat mimpi itu menjadi tunas-tunas kenyataan sebagai wirausahawan mandiri boleh mulai dipertimbangkan.

2.
Mencari mitra dengan “mimpi” serupa.


Jika 1 atau 2 jenis sumber daya tidak dimiliki, seorang calon wirausahawan bisa mencari partner/rekanan untuk membuat mimpi-mimpi itu jadi kenyataan. Rekanan yang ideal adalah rekanan yang memiliki sumber daya yang tidak dimilikinya sendiri sehingga ada keseimbangan “modal/sumber daya” di antara mereka. Umumnya kerabat dan teman dekatlah yang dijadikan prospective partner yang utama sebelum mempertimbangkan pihak lainnya, seperti beberapa jenis institusi finansial diantaranya bank.

Pilihan jenis mitra memiliki resiko tersendiri. Resiko terbesar yang harus dihadapi ketika berpartner dengan teman dekat adalah dipertaruhkannya persahabatan demi bisnis. Tidak sedikit keputusan bisnis mesti dibuat dengan profesionalisme tinggi dan menyebabkan persahabatan menjadi retak atau bahkan rusak. Jenis mitra bisnis lainnya adalah anggota keluarga; risiko yang dihadapi tidak banyak berbeda dengan teman dekat. Namun, bukan berarti bermitra dengan mereka tidak dapat dilakukan. Satu hal yang penting adalah memperhitungkan dan membicarakan semua risiko secara terbuka sebelum kerjasama bisnis dimulai sehingga jika konflik tidak dapat dihindarkan, maka sudah terbayang bagaimana cara menyelesaikannya sejak dini sebelum merusak bisnis itu sendiri.

Mitra bisnis lain yang lebih netral adalah bank atau institusi keuangan lainnya terutama jika modal menjadi masalah utama. Pinjaman pada bank dinilai lebih aman karena bank bisa membantu kita melihat secara makro apakah bisnis kita itu akan mengalami hambatan. Bank yang baik wajib melakukan inspeksi dan memeriksa studi kelayakan (feasibility study) yang kita ajukan. Penolakan dari bank dengan alasan “tidak feasible” bisa merupakan feedback yang baik, apalagi jika kita bisa mendiskusikan dengan bagian kredit bank mengenai elemen apa saja yang dinilai “tidak feasible”. Bank juga bisa membantu kita untuk memantau kegiatan usaha setiap tahun dan jika memang ada kesulitan di dalam perusahaan, bank akan mempertimbangkan untuk tidak meneruskan pinjamannya. Ini merupakan “warning” dan kontrol yang bisa menyadarkan kita untuk segera berbenah. Wirausahawan yang “memaksakan” bank untuk memberi pinjaman tanpa studi kelayakan yang obyektif dan benar akhirnya sering mengalami masalah yang lebih parah. Agunan (jaminan) disita, perusahaan tidak jalan, dan hilanglah harapan untuk membuat mimpi indah menjadi kenyataan. Kejadian seperti ini sudah sangat sering terjadi, dalam skala kecil maupun skala nasional. Pinjaman seringkali melanggar perhitungan normal yang semestinya diterapkan oleh bank sehingga ketika situasi ekonomi tidak mendukung, sendi perekonomian mikro dan makro pun turut terbawa jatuh.

3.
Menjual mimpi itu kepada wirausawahan lain (pemilik modal)


Jika teman atau kerabat yang bisa diajak bekerjasama tidak tersedia (entah karena kita lebih menghargai hubungan kekerabatan atau persahabatan atau karena memang mereka tidak dalam posisi untuk membantu) dan tidak ada agunan yang bisa dijadikan jaminan untuk memulai usaha anda, ada cara lain yang lebih drastis, yaitu menjual ide atau mimpi indah itu kepada pemilik modal. Kesepakatan mengenai bagaimana bentuk kerjasama bisa di lakukan antara si pemilik modal dan penjual ide. Bisa saja pemilik modal yang memodali dan penjual ide yang menjalankan usaha itu, bisa juga penjual ide hanya menjual idenya dan tidak lagi terlibat dalam usaha itu. Jalan ini biasanya diambil sesudah cara lainnya tidak lagi memungkinkan sedangkan ide yang kita miliki memang sangat layak diperhitungkan.

Ketiga cara di atas selayaknya dipikirkan sebelum seseorang mengambil keputusan untuk menjadi wirausahawan. Tanpa pemikiran mendalam, pengalaman pahit akan menjadi makanan kita. Banyak usaha yang akhirnya gulung tikar sebelum berkembang. Contohnya, pada tahun 1998, penduduk Jakarta tentu masih ingat akan trend “kafe tenda” sebagai reaksi atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang saat itu banyak terjadi. Tiba-tiba saja banyak mantan karyawan perusahaan beralih profesi menjadi wirausahawan. Bahkan usaha tersebut ramai-ramai diikuti oleh pula oleh para selebritis. Trend ini tidak mampu bertahan lama. Banyak “usaha dadakan” ini terpaksa gulung tikar. Entah kemana para wirausahawan baru kita ini akhirnya menggantungkan nasibnya sekarang.

Mentalitas Wirausahawan: Mitos atau Realita?

Untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang wirausahawan yang sukses memang diperlukan berbagai faktor pendukung. Selain modal (sumber daya seperti tersebut di atas), masih ada faktor lain yang merupakan syarat untuk keberhasilan seorang wirausahawan. Banyak yang mengatakan “mental” atau “bakat”; dalam bahasa umum “bakat dagang”, merupakan salah satu diantara faktor tersebut. Meskipun belum banyak penelitian ilmiah mengenai mental atau kepribadian wirausahawan, namun ada beberapa fakta maupun asumsi yang bisa menerangkan bahwa memang ada perbedaan karakter antara wirausahawan dengan non-wirausahawan. Bisa saja perbedaan itu tumbuh karena kebiasaan atau pengaruh lingkungan sehingga menjadi karakter yang menetap dalam kepribadian seseorang

Bagi pengikut aliran non-deterministic, bakat dagang mungkin lebih bisa diterima sebagai sebuah mitos, sebab sulit untuk mengatakan bahwa seorang bayi memiliki “in-born entrepreneurship trait”. Lebih logis bila mengasumsikan bahwa “bakat dagang” yang dimitoskan mungkin merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dimiliki oleh wirausahawan lewat proses pembelajaran sejak dini. Kebiasaan ini disosialisasikan dan dikondisikan secara konstan kepada individu atau kelompok tertentu sehingga menjadi ciri karakter yang kuat dan mengakar di dalam mereka. Sebagian dari kebiasaan itu adalah:

menghitung untung rugi setiap tindakan/keputusan yang diambil

melihat peluang dan menganalisis kebutuhan pasar

mengelola sumber daya (planning, organizing, directing, controlling)

bekerja keras secara konstan dan mencari solusi bagi masalahnya

kebiasaan “jatuh-bangun” sehingga tidak lagi takut membuat keputusan

Selain faktor kebiasaan di atas, masih banyak faktor lain yang turut menentukan apakah seseorang bisa menjadi seorang wirausahawan yang sukses. Beberapa di antaranya adalah:

1.
Kreatif & Inovatif


Seorang wirausahawan umumnya memiliki daya kreasi dan inovasi yang lebih dari non-wirausahawan. Hal-hal yang belum terpikirkan oleh orang lain sudah terpikirkan olehnya dan dia mampu membuat hasil inovasinya itu menjadi “demand”. Contohnya: Menjelang tahun 2000, ada sekelompok orang yang menjadi “kaya raya” karena mereka berhasil menjual ide “the millenium bug”. Puluhan juta dollar bergulir di industri komputer dan teknologi hanya karena ide ini. Software baru, jasa konsultasi teknologi komputer bahkan Hollywood pun berhasil membuat ide ini menjadi industri hiburan yang menghasilkan puluhan juta dollar. Film “The Entrapment” adalah salah satu hasilnya. Contoh lainnya yang sederhana adalah pengemasan air minum steril kedalam botol sehingga air bisa diminum langsung tanpa dimasak. Banyak sekali contoh lain yang menunjukkan bahwa kreatifitas dan inovasi adalah salah satu faktor yang bisa membawa seseorang menjadi wirausahawan sukses. Perlu diingat bahwa kreatifitas dan inovasi bukan merupakan satu-satunya faktor penentu karena artispun harus memiliki kedua faktor ini sebagai penentu kesuksesannya.

2.
Confident, Tegar dan Ulet


Wirausahawan yang berhasil umumnya memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tegar dan sangat ulet. Ia tidak mudah putus asa, bahkan mungkin tidak pernah putus asa. Masalah akan dihadapinya dan bukan dihindari. Jika ia membuat salah perhitungan, saat ia sadar akan kesalahannya, ia secara otomatis juga memikirkan cara untuk membayar kesalahan itu atau membuatnya menjadi keuntungan. Ia tidak akan berhenti memikirkan jalan keluar walaupun bagi orang lain, jalan keluar sudah buntu. Kegagalan akan dibuatnya menjadi pelajaran dan pengalaman yang mahal. Semangatnya tidak pernah luntur; ada saja yang membuatnya bisa berpikir positif demi keuntungan yang dikejarnya. Kualitas kepribadian seperti ini tidak mungkin tumbuh secara mendadak. Keuletan, ketegaran dan rasa percaya diri tumbuh sejak dini (usia balita) dan sudah menjadi karakter atau dasar kepribadiannya. Sulit (bukan tidak mungkin) bagi seorang dewasa membentuk kualitas-kualitas ini jika tidak dimulai sejak masa balita.

3.
Pekerja Keras


Waktu kerja bagi seorang wirausahawan tidak ditentukan oleh jam kerja. Saat ia sadar dari bangun tidurnya, pikirannya sudah bekerja membuat rencana, menyusun strategi atau memecahkan masalah. Kadang dalam tidurnyapun ia tetap berpikir. Membiarkan waktu berlalu tanpa ada yang dipikirkan atau dikerjakan kadang membuatnya merasa “tidak produktif” atau merasa kehilangan kesempatan.

4.
Pola Pikir Multi-tasking


Seorang wirausahawan sejati mampu melihat sesuatu dalam perspektif/dimensi yang berlainan pada satu waktu (multi-dimensional information processing capacity). Bahkan ia juga mampu melakukan “multi-tasking” (melakukan beberapa hal sekaligus). Kemampuan inilah yang membuatnya piawai dalam menangani berbagai persoalan yang dihadapi oleh perusahaan. Semakin tinggi kemampuan seorang wirausahawan dalam multi-tasking, semakin besar pula kemungkinan untuk mengolah peluang menjadi sumber daya produktif.

5.
Mampu Menahan Nafsu untuk Cepat Menjadi Kaya


Wirausahawan yang bijak biasanya hemat dan sangat berhati-hati dalam menggunakan uangnya terutama jika ia dalam tahap awal usahanya. Setiap pengeluaran untuk keperluan pribadi dipikirkannya secara serius sebab ia sadar bahwa sewaktu-waktu uang yang ada akan diperlukan untuk modal usaha atau modal kerja. Keuntungan tidak selalu menetap, kadang ia harus merugi dan perusahaan harus tetap dipertahankan. Oleh sebab itu, jika ia memiliki keuntungan 10, hanya sepersekian yang digunakan untuk keperluan pribadinya. Sebagian besar disimpannya untuk digunakan bagi kemajuan usahanya atau untuk tabungan jika ia terpaksa mengalami kerugian.


Wirausahawan yang bijak juga mengerti bahwa membangun sebuah perusahaan yang kokoh dan mapan memerlukan waktu bertahun-tahun bahkan tidak jarang belasan atau puluhan tahun. Seorang wirausahawan yang memulai usahanya dari skala yang kecil hingga menjadi besar akan mampu menahan nafsu konsumtifnya. Baginya, pengeluaran yang tidak menghasilkan akan dianggap sebagai sebuah kemewahan. Jika tabungannya tidak cukup untuk membeli kemewahan itu, dia akan menahan diri sampai tabungannya jauh berlebih. Ia juga menghargai keuntungan yang sedikit demi sedikit dikumpulkannya. Keuntungan itu diinvestasikannya ke dalam usaha lainnya sehingga lama-kelamaan hartanya bertambah banyak. Dalam hal ini memang ada benarnya pepatah yang mengatakan: “hemat pangkal kaya”.


Sebaliknya, wirausahawan yang tidak bijak seringkali tidak dapat menahan nafsu konsumtif. Keuntungan dihabiskan untuk berbagai jenis kemewahan dan hal yang tidak produktif sehingga tidak ada lagi tabungan untuk perluasan perusahaan atau untuk bertahan pada masa sulit. Perusahaanpun tidak lama bertahan.

6.
Berani mengambil risiko


Seorang wirausahawan berani mengambil risiko. Semakin besar risiko yang diambilnya, semakin besar pula kesempatan untuk meraih keuntungan karena jumlah pemain semakin sedikit. Tentunya, risiko-risiko ini sudah harus diperhitungkan terlebih dahulu. (Lihat artikel: Risiko-Risiko Pengembangan Bisnis)

7.
Faktor Lainnya


Masih banyak lagi faktor yang belum terungkap dalam artikel ini. Saya berharap para pembaca yang memiliki pengalaman lain mau membagikan pengalamannya agar dapat menjadi inspirasi bagi calon-calon wirausahawan baru. Negara kita memang sedang membutuhkan wirausahawan baru untuk membangun kembali ekonomi yang morat-marit ini.

Bagi mereka yang sudah memiliki ide dan mimpi indah, cobalah mulai berhitung. Siapa tahu anda sudah memiliki banyak faktor yang disebutkan di atas dan anda tinggal mengatakan pada diri anda:”Just try it”. Bagi anda yang merasa bahwa dunia wirausaha bukan dunia anda, jangan kecil hati….sebab anda masih bebas bermimpi. Selain mimpi itu gratis, segala sesuatu yang baru selalu dimulai dari mimpi indah. “Selamat bermimpi”. (jp)

The Map Is Not The Territory


The Map Is Not The Territory

Oleh Ubaydillah, AN

Jakarta, 7 Februari 2003

Wanita muda itu hampir memutuskan untuk kembali ke perusahaan tempat ia bekerja dulu. Bagaimana tidak, dengan jabatan terakhirnya sebagai seorang Manager di sebuah hotel bintang empat, jalur ke arah pengembangan karir masih sangat terbentang luas dan jelas. Sementara keputusannya untuk menjalankan bisnis di bidang jasa Catering yang ditekuninya saat ini masih berupa tanda tanya besar. Bayangannya tentang dunia wirausaha ketika ia masih bekerja di hotel dulu tiba-tiba terasa sangat jauh dengan apa yang terjadi di lapangan dan dirasakannya saat ini. Semula "map" (peta) yang dipegang menjelaskan bahwa suatu bisnis adalah anda menciptakan produk kemudian pelanggan atau pembeli menukarnya dengan uang lalu dari hasil penukaran tersebut keuntungan diciptakan. Dari akumulasi keuntungan itulah kemudian asset perusahaan ditingkatkan.

Tetapi "territory" (kenyataan) atau fakta berbicara lain. Sudah berbulan-bulan bahkan nyaris satu tahun, usahanya belum menghasilkan transaksi yang melegakan. Bahkan keuntungan transaksi yang sedikit dan masih jarang itu habis untuk menutup biaya tak terduga akibat hambatan-hamabatan teknis seperti: handling complain pelanggan yang kurang efektif, biaya marketing yang kurang terkontrol, produk yang kurang memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan, dsb. Sudah begitu, terkadang ia terpaksa "nombok" ketika tanggal gajian tiba. Pendek kata, ia dihadapkan pada situasi yang serba salah.

Saat ia lupa dengan cita-cita menjadi seorang wirausawan dan pemilik suatu bisnis, terkadang muncul keinginan untuk menghentikan dengan paksa usahanya. Tetapi tiba-tiba ia ingat bahwa cita-citanya untuk menjadi wirausahawan adalah sesuatu yang sudah final; tidak bisa ditawar. Dengan melintasi siklus antara lupa dan ingat dengan cita-citanya, wanita lajang itu terus melakukan sesuatu antara creating customer dan handling jobs serta terkadang meng-istirahatkan diri. Seed of action tetap ia taburkan meskipun tidak membuahkan hasil yang diharapkan pada detik-detik ia membutuhkannya. Hingga suatu saat yang ia lupa tanggalnya, telephone berdering dari seseorang yang ingin mengadakan acara pernikahan sederhana. Ternyata penelpon itu adalah orang yang membaca surat penawaran via facsimile kantor yang dikirim sekian bulan yang lalu. Dari hasil pembicaraan disepakati bahwa seluruh menu yang dipesan tergolong mudah dilayani. Walhasil kepuasan bisa dicapai baik oleh penyedia dan pengguna jasa. Inilah yang disebut “The window of opportunity”.

Dari pengalaman inilah ia memahami “Ilmu pengetahuan khusus” untuk menjalankan bisnis dengan pendekatan improvisasi setapak demi setapak. Memahami bahwa seed of action itu tidak pernah bermakna sia-sia dalam arti yang kasat mata. Memahami bahwa peluang itu datangnya sangat tersembunyi setelah diciptakan persiapan internal yang matang. Memahami bahwa anak tangga yang dipasang oleh Hukum Alam tentang entrepreneurship tidak bisa dilewati melainkan butuh bimbingan untuk mempercepat langkah. Memahami bahwa saat-saat yang masih diliputi kegagalan demi kegagalan dalam menciptakan transaksi yang profitable punya makna sebagai referensi dan memperkokoh postur diri.

Sistem

Cerita wanita muda di atas mewakili sekian banyak umat manusia yang mengawali hidupnya sebagai pejuang gagasan di bidang apapun. Tetapi memang seperti yang dikatakan Alford Korzybski bahwa “ The map is not the territory”. Artinya persepsi anda tentang suatu realitas bukanlah realitas melainkan persepsi itu sendiri. Selamanya pemahaman konseptual tidak pernah tepat seratus persen dengan realitas dunia oleh karena itu gap selalu ada dan gap itulah yang harus anda letakkan ke dalam perspektif tantangan untuk diubah.

Tidak salah jika membangun bisnis diawali dengan persepsi menciptakan produk, menemukan pelanggan atau pembeli, dan menikmati keuntungan. Tetapi di sisi lain begitu mudahnya persepsi itu kabur sehingga tidak segagah seperti pada saat anda merumuskannya di atas kepala, menjadi sekedar human-talk, menjadi harapan yang jauh dari fakta atau dokumen sia-sia. Apa masalahnya?

Kalau merujuk pada cerita wanita muda di atas, maka jelas yang ia butuhkan sebenarnya adalah THE EFFORTS OF FINDING OUT THE SYSTEM THAT WORKS – menemukan suatu sistem yang tepat. Sebagai business owner maka yang dibutuhkan oleh si wanita adalah tindakan bagaimana ia menemukan celah di mana produk makanannya dalam kondisi siap untuk menciptakan benefit bagi pembeli pada saat yang tepat dengan nilai transaksi yang mendatangkan keuntungan dan terjadi secara rutin, predictable atau identified. Inilah yang disebut Sistem.

Jika muncul pertanyaan, mengapa tidak semua pebisnis meraih keuntungan meskipun diperkuat dengan modal besar; mengapa tidak semua kaum professional mandiri dengan professionalitasnya; dan mengapa terkadang masih bisa ditemukan seorang penjual air mineral di sebuah pangkalan Angkutan Kota yang bisa mandiri dengan keadaan hidupnya. Jawabannya tentu saja bukan persoalan kasta intelektual atau akademik, modal, atau lokasi strategis melainkan upaya menabur seed of action yang telah menemukan sistem untuk berbuah dalam bentuk prestasi dan kemandirian. Penjual air mineral yang telah memiliki sistem memahami dengan pasti siapa pelanggannya hari itu, air mineral merek apa yang disukai, dan kapan membeli. Jika ada calon pelanggan baru, ia sudah tahu bagaimana cara menggiringnya supaya membeli produk dagangannya.

Menemukan Sistem

Dalam artikelnya berjudul “The Slight Edge Philosophy”, seperti yang ditayangkan oleh Top Achievement (1998, Gene Donohue, Marlborough NH), Jeff Olson menyebut sistem itu dengan nama “The Slight Edge”, yaitu sebuah sistem tentang kesuksesan yang didasarkan pada akumulasi perbaikan-perbaikan kecil. " It is based on doing things that are easy-little disciplines which done consistently over time, add up to the biggest accomplishments”. Cuma masalahnya, karena sifatnya yang kecil dan gampang dilakukan, maka anda pun puya pilihan yang gampang untuk tidak melakukannya. Apalagi resikonya tidak membahayakan sama sekali. Artinya jika anda memilih tidak melakukan, anda tidak bakal mati atau terganggu hidup anda seketika.

Katakanlah, andaikan wanita muda di atas tidak pernah mengirim facsimile ke kantor orang yang sekarang ini menjadi pelanggannya, tentu saja ia tidak merasakan apapun dari resiko itu. Toh mengirim facsimile atau tidak mengirim hanya dibedakan oleh waktu yang bisa dihitung dengan jumlah menit. Tetapi waktu yang hanya berukuran menit itulah yang sebenarnya menjadi “The Slight Edge” – untuk memulai kesuksesan. Dengan istilah yang berbeda tetapi esensinya sama, Aristotle menyebutnya dengan Kebiasaan (The habit). “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit." Anda menjadi sosok yang dihasilkan dari apa yang berulang-ulang anda kerjakan. Kesuksesan di bidang apapun tidak pernah dibangun dari tindakan sekali jadi melainkan kebiasaan. Excellency lahir dari kebiasaan yang excellent.

Menurut Jeff Olson, Excellency atau Quality of life, atau apapun bentuknya adalah side effect dari pembenahan kecil dan terus-menerus terhadap empat wilayah berikut:

Philosophy

Attitude

Action

Result

Philosophy adalah paradigma, pedoman, Ilmu Pengetahuan Khusus yang anda gunakan sebagai jurus untuk bermain di dalam kehidupan ini guna mendapatkan apa yang benar-benar anda inginkan. Dalam urutannya, paradigma merupakan muatan software internal anda yang menjadi sumber utama sebuah sikap dan tindakan. Untuk mencapai Excellent quality of life, maka anda harus menjadikan “The Slight Edge System” sebagai pedoman hidup. Paradigma yang tepat akan membentuk pola sikap yang tepat pula terhadap diri anda, orang lain, dan keadaan dunia pada umumnya dalam kaitan dengan upaya menjadi pejuang gagasan. Sikap yang tidak tepat akan mempercepat keinginan untuk ‘lupa’ dengan gagasan awal anda, mudah putus asa, dan patah. Ketika anda lupa, maka action anda berhenti atau berpindah ke tempat lain. Dengan sendirinya struktur dari kebiasaan anda pudar. Dan pada saat sudah terjadi demikian, anda bisa menjawab sendiri bagaimana result yang dihasilkan.

Pertanyaannya kemudian, apa yang anda butuhkan agar pembenahan yang anda lakukan di empat wilayah di atas terjaga sinergisitasnya dengan keadaan anda dan keadaan dunia. Tak lain adalah knowledge yang menurut Jeff Olson ditemukan sumbernya dari tiga hal:


1.
Studied Knowledge


Bacalah materi pengembangan yang sudah ditulis oleh para ahli sesuai kebutuhan anda. Membaca adalah escalator yang memungkinkan untuk mempercepat pemahaman anda tentang manusia dan dunia . Begitu pemahaman sudah anda peroleh lebih dulu ketimbang orang lain, maka pemahaman itu bisa menjadi competitive advantage bagi anda.


2.
Activity Knowledge


Sudah jelas bahwa hidup ini merupakan proses oleh karena itu jalan menuju kesuksesan selalu dalam posisi sedang diperbaiki. Kuncinya adalah anda harus melakukan sesuatu yang anda butuhkan. Jangan menunggu sesuatu yang anda butuhkan lalu baru melakukan. Melakukan berarti menyelami territory ke tingkat yang lebih dalam untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam. Knowledge oleh sebab itu, is power.


3.
Modeled Knowledge


Selain materi yang sudah ditulis oleh para pakar di bidangnya, kehidupan ini masih menyisakan tanda tanya yang tidak tertulis tetapi mempunyai pengaruh konkrit dalam hidup anda. Contoh saja "The Law of Association". Menurut Hukum ini, anda mendapatkan apa yang benar-benar anda inginkan sebanding kurang lebihnya dengan apa yang didapatkan oleh sepuluh orang pertama yang dekat dengan anda. Pepatah lama mengatakan, Jika anda ingin mengetahui seseorang, cukup anda mengetahui dengan siapa ia berteman dan berasosiasi.


Energi

Di luar bagan yang telah dirumuskan oleh Jeff Olson di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa anda membutuhkan energi atau "mental fuel" yang berfungsi sebagai mobilisator. Energi itulah yang akan menggerakkan anda ke arah kiblat tertentu yang anda tuju. Energi tersebut meliputi:


1.
Konsentrasi


Awalnya semua orang punya bakat alamiah untuk merealisasi apa yang benar-benar diinginkan dari kehidupan ini. Jika kemudian terjadi kenyataan yang sebaliknya, tentu saja sebabnya yang paling utama adalah pilihan konsentrasi. Satu sisi anda punya keinginan untuk maju dengan cita-cita dan gagasan anda tetapi pada sisi lain muncullah keinginan untuk tidak mau melawan virus yang mengajak anda mundur. Keinginan meraih sesuatu versus keinginan menghindar dari sesuatu; keinginan mengingat versus keinginan melupakan.

Semua bentuk konflik keinginan di atas terjadi di dalam diri anda, dan oleh sebab itu konsentrasi anda butuhkan dalam kaitan dengan bagaimana keberadaan anda setiap saat selalu barada di atas garis menuju realisasi gagasan (staying on track). Jika anda tiba-tiba lupa dengan cita-cita anda, cepatlah menarik diri untuk ingat. Gunakan konsentrasi untuk memperpanjang durasi ingatan, maju, dan meraih sesuatu. Buatlah kavling atau pembatas yang jelas agar pikiran bisa bekerja melawan semua distraksi yang akan menjauhkan anda dari keinginan meraih sesuatu. Dalam hal ini memang dibutuhkan pengorbanan untuk melupakan sesutau yang tidak penting yang terkadang setelah anda sadari tidak ada kaitan apapun dengan misi, visi, dan tujuan anda.


2.
Komitmen


Komitmen adalah bentuk tanggung jawab anda terhadap cita-cita dan gagasan anda. Berbeda dengan human talk atau keinginan umum yang tidak dipertanggung jawabkan. Sekedar bicara gagasan dan cita-cita, semua orang pasti menyimpan gagasan di kepalanya tentang hal yang enak-enak. Tetapi kenyataannya memperjuangkan gagasan tidak selamanya berhubungan dengan hal yang enak atau tidak enak melainkan mau tidak mau berupa responsible action.

Komitmen terjadi di dalam proses merealisasikan apa yang anda inginkan sementara hal yang enak-enak itu merupakan efek sampingan saja. Di bidang bisnis misalnya, uang adalah efek samping dari benefit yang anda berikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Kesuksesan adalah daya tarik yang anda ciptakan di dalam diri anda. Tanpa komitmen terhadap The Slight Edge System, sangat mudah bagi anda untuk segera terperangkap dalam pengembaraan asumsi yang terkadang sia-sia di mana anda menghabiskan waktu untuk mencari dan menghindar dari orang lain. Padahal mestinya anda mengeluarkan sesuatu dari dalam diri anda untuk menciptakan benefit bagi orang lain lalu terjadi feedback setimpal bahkan terkadang lebih besar.


3.
Integritas


Dalam hubungannya dengan memperjuangkan gagasan, integritas lebih gampang diartikan dengan ukuran cinta dan rasa sayang anda terhadap cita-cita, gagasan, dan keinginan. Dengan kata lain seberapa hebat anda mampu “living with them”. Keluarga Jackson berlatih musik yang dibimbing oleh orang tuanya selama dua puluh enam jam dalam satu hari. Bayangkan, sementara semua manusia hanya memiliki waktu dua puluh empat jam. Memang, awalnya anda harus lebih dulu membangkitkan energi yang membuat anda memiliki integritas terhadap cita-cita dan gagasan anda. Begitu integritas sudah tercipta, andalah yang dibangkitkan.

Inilah rahasia mengapa Edison atau Abraham Lincoln tidak pernah kapok dengan sekian kegagalannya padahal kalau diukur dengan kualitas manusia umum mereka sudah memiliki alasan yang sangat cukup kuat untuk menghentikan eksperimennya. Bukan Edison, Abraham, atau Soekarno yang menyuruhnya untuk maju tetapi mereka telah digerakkan oleh energi intergritas yang tidak mampu dibendung meskipun oleh dirinya sendiri.


Kembali ke perihal “The map is not the territory”, maka jadikan peta itu sebagai guideline. Biarkan ia sebagai bintang yang bersinar. Jangan disobek atau dibuang di tong sampah ketika anda menemukan gap antara the map dan the territory. Karena yang benar-benar anda perlukan adalah menyempurnakannya seiring dengan kemajuan penyelaman terhadap kawasan teritorial. Jagalah agar peta anda tetap akurat sehingga tidak menyesatkan anda ketika hendak dijadikan referensi hidup berikutnya. Semoga berguna. (jp)

Membaca Keadaan


Membaca Keadaan

Oleh Ubaydillah, AN

Jakarta, 7 Mei 2003

Dua sampai lima tahun lalu, siapa yang menolak kalau dikatakan dangdut berposisi di pojok dan dipandang sebelah mata atau dikesankan sebagai musik kampungan. Akibat pandangan ini tidak sedikit penyanyi dangdut yang terpaksa menutupi identitasnya. Beberapa stasiun televisi pun masih enggan menyiarkan musik-musik dangdut. Tetapi siapa yang menyangka kalau musik ini sekarang justru menjadi hiburan andalan. Sejumlah penyanyi dangdut mengaku kewalahan meladeni order manggung. Tidak hanya itu, penyanyi-penyanyi dari aliran musik lain pun ikut alih profesi ke musik dangdut. Bahkan saat ini hampir setiap malam hiburan dangdut ditayangkan secara ‘live’ oleh beberapa stasiun televisi.

Dari komentar yang sedang berkembang di media atau pembicaraan antar pribadi diperoleh kesimpulan bahwa kesuksesan musik dangdut ini tidak lepas dari ‘blessing in disguise’ krisis moneter yang berubah menjadi krisis multidimensi. Karena krisis yang terus menambah jumlah pawai tanda tanya, masyarakat merasa butuh hiburan yang seirama dengan suasana hati dan suasana keadaan. Benar atau salah logika yang digunakan untuk berkomentar tidaklah sepenting fakta alamiah bahwa kesuksesan dangdut tidak lepas dari upaya sebagian kecil orang dalam membaca keadaan, “See the need and fill it”. Contoh yang paling aktual dan sensasional adalah fenomena goyang "ngebor" Inul Daratista. Terlepas dari pendapat pro dan kontra di seputar goyang ngebor yang ditampilkannya, Inul telah berhasil membaca keadaan sehingga telah membuatnya kerepotan untuk memenuhi permintaan (baca: order) manggung baik dari stasiun televisi maupun masyarakat umum.

The Law of Reading

Keadaan eksternal yang diinformasikan oleh media atau jaringan personal digambarkan oleh Trevor Bently ( dalam Creativity; McGraw –Hill: 1997) dalam bentuk tulisan berikut:



“THEOPPORTUNITYISNOWHERE”



Untuk membaca dengan benar tulisan di atas dibutuhkan penguasaan bahasa yang meliputi tata bahasa, kalimat dan kata agar persepsi yang diperoleh tidak salah atau tidak bertentangan dengan apa yang dibutuhkan oleh keadaan. Orang boleh membaca "The Opportunity Is No Where" yang berarti bahwa persepsi orang tentang keadaan eksternal adalah krisis yang sama sekali tidak menyimpan peluang atau solusi. Memperhatikan kenyataan di lapangan ternyata jumlah pembaca kelompok ini bisa dikatakan dominan. Sebabnya tidak lain adalah penguasaan bahasa dan tata bahasa keadaan yang minim sehingga gagal menyusun partikulasi kalimat keadaan.

Sebaliknya orang juga bisa memilih untuk membaca "The Opportunity Is Now Here" yang artinya peluang atau solusi itu ada di balik krisis asalkan bisa membacanya dengan jeli. Inilah sebenarnya yang dilihat oleh Inul dan teamnya. Ironisnya jumlah pembaca kelompok ini hanya sedikit. Padahal hampir semua orang menginginkan pilihan bacaan kedua ini tetapi prakteknya justru berbalik memilih yang pertama.

Itulah gambara bahwa satu tulisan yang disusun dengan jumlah karakter yang sama dapat dibaca dengan dua model bacaan yang menghasilkan dua persepsi yang berbeda. Kalau sudah sampai ke perbedaan persepsi berarti akan menghasilkan sikap mental yang berbeda yang berarti juga akan membuat tindakan hidup tidak sama. Oleh karena itu membaca merupakan instruksi kemanusiaan yang pertama kali dikeluarkan. Sebab membaca merupakan pintu tunggal bagi kita untuk mengetahui sesuatu di samping membaca juga akan mendorong untuk memilih bagaimana membaca dengan benar sehingga menghasilkan kesimpulan yang diharapkan. Atas dasar ini, membaca berarti punya tingkatannya sendiri.

Kalau dikelompokkan, kemampuan orang dalam membaca keadaan dapat digolongkan menjadi dua yaitu:

Kemampuan membaca Tangible materials (materi yang bisa dilihat dan disentuh)

Kemampuan membaca Intangible materials (materi yang tidak kasat mata dan tidak dapat tersentuh)

Membaca materi yang bisa disentuh oleh indera fisik dapat dilakukan oleh sebagian besar manusia dan memang inilah jalan yang harus ditempuh lebih dulu sebelum mengasah kemampuan untuk membaca materi yang tidak bisa disentuh atau tidak tertulis. Dan rasanya kebutuhan pengetahuan yang diperoleh dari materi tangible sudah bisa dipenuhi oleh hampir semua orang dari semua tingkatan.

Tetapi kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan yang diperoleh dari materi intangible dapat dikatakan baru dipenuhi oleh sebagian kecil orang. Padahal kalau dilihat bagaimana dunia bekerja, materi yang intangible justru sering menjadi faktor-penentu yang membedakan antara ada peluang atau tidak ada peluang di balik situasi yang berkembang. Atau dengan kata lain ada ‘hidden connecting’ (hubungan terselubung) yang menghubungkan antara satu obyek dengan obyek lain dan berpengaruh kuat terhadap kualitas keputusan hidup dalam hal identifikasi persoalan dan tindakan solusi.

Identifikasi masalah yang dihasilkan dari membaca intangible material dan hidden connecting akan mengarah pada penemuan fakta optimal yang berbeda dari kebanyakan orang yang mendasarkan keputusan hidupnya pada ‘personal feeling’ (perasaan pribadi) atau ‘rule of habit’ (kebiasaan) masa lalu. Dengan fakta optimal yang diperoleh maka bentuk partikulasi persoalan menjadi jelas dan mudah untuk dirumuskan skala prioritas penyelesaiannya. Pada tingkat tindakan, keputusan yang didasarkan pada fakta optimal kemungkinan besar akan menjadi akhir dari masalah yang bisa berarti peluang. Kalau tidak bisa langsung menjadi peluang, sedikitnya keputusan itu menjadi tindakan penyelamat darurat, tindakan adaptive atau tindakan korektif dari keadaan. Ini berbeda dengan keputusan yang semata didasarkan pada personal feeling atau rule of habit masa lalu yang lebih banyak menggunakan senjata kayu: mematahkan atau dipatahkan. Padahal mematahkan bukan akhir dari persoalan begitu juga dipatahkan.

Pembelajaran Diri

Membaca adalah kunci bagaimana kita mempersepsikan keadaan yang telah diinformasikan oleh media atau melalui jaringan personal. Tetapi membaca hanya untuk membaca dalam arti aktivitas dapat dikatakan masih belum memenuhi tujuan dari panggilan instruksi hidup pertama itu. Bahkan para pakar sudah sejak lama mengingatkan munculnya wabah yang bernama "information over-load" – suatu 'penyakit' di mana kepala manusia dipenuhi oleh informasi tentang keadaan makro yang tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan keadaan mikro. Dengan perkembangan yang pesat dari penyedia informasi yang menjajakan pilihan persepsi keadaan, maka akan sangat mungkin wabah tersebut akan kian merajalela.

Kemampuan membaca harus ditajamkan dengan pembelajaran-diri dalam arti membaca untuk menciptakan peluang yang lebih bagus dari tujuan hidup, terutama sekali peluang untuk perbaikan pada wilayah sentral: kesehatan fisik, kemakmuran finansial, kehormatan status sosial, kepiawaian profesionalitas, kematangan mental, keseimbangan emosional, atau keluhuran moralitas. Tahapan untuk menajamkan kemampuan membaca dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:


1.
Pengetahuan


Semua yang dibaca orang bisa dikatakan secara take for granted sudah memenuhi kepentingan untuk mengetahui sesuatu; membaca untuk mengetahui. Pengetahuan adalah kesimpulan asumsi atau dugaan yang telah diverifikasi oleh orang atau lembaga yang berwenang dengan berpedoman pada pendekatan Generally Applicable yang disusun berdasarkan latarbelakang persoalan makro. Atas dasar ini pengetahuan tidak lepas dari kepentingan lembaga atau orang dalam arti menurut ‘versi’. Artinya pengetahuan baru berbicara pada kebenaran dalam arti folk wisdom atau tatanan umum.

Dengan berpedoman bahwa manusia diberi jalan hidup melalui business of selling, maka secara pengetahuan semua yang ada di dalam, di luar, samping kiri-kanan atau depan belakang seseorang dapat dibisniskan. Tetapi prakteknya tidak cukup hanya berpedoman pengetahuan itu. Dengan kata lain, pengetahuan adalah raw material of power seperti pisau. Pengetahuan hanya untuk pengetahuan sudah dibuktikan tidak bekerja, mandul, dan supaya bisa bekerja maka pengetahuan membutuhkan mobilisasi.


2.
Pemahaman


Memobilasi pengetahuan dapat diartikan dengan menciptakan pemahaman pribadi atau sudut pandang. Dari perumpamaan susunan kalimat “Theopportunityisnowhere” saja bisa menghasilkan sekian model bacaan yang akan menjadi sekian sudut pandang dan sudah jelas akan menjadi bahan keputusan untuk bertindak. Dalam hal ini menciptakan pemahaman adalah bagaimana anda merefleksikan pengetahuan yang sifatnya ‘generally applicable’ di atas menjadi ‘specifically applicable’ dengan setting persoalan mikro: anda dengan wilayah operasi dan konsentrasi.

Pemahaman inilah yang akan menikahkan antara apa yang anda ketahui dari materi tangible dan materi intangible yang bekerja di lapangan. Orang sering merasa bahwa pengetahuannya tidak berguna karena tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan padahal yang belum diperoleh adalah pemahaman. Logikanya, bagaimana mungkin buku yang dikarang di luar negeri oleh orang luar negeri dengan tatanan latarbelakang persoalan yang berbeda secara ruang dan waktu lalu diterapkan tanpa proses pengolahan lebih lanjut di meja kerja. Tetapi perlu diakui bahwa pemahaman anda tentang sesuatu baru berupa kreasi internal dan belum dapat dikatakan prestasi. Supaya pemahaman anda menjadi dasar prestasi, maka jadikan pemahaman anda sebagai materi tindakan sebab tindakan adalah prestasi hidup pertama kali.


3.
Penghakiman


Membaca keadaan harus berakhir dengan penghakiman, eksekusi atau keputusan untuk bertindak. Intinya adalah eksekusi tindakan untuk menciptakan prestasi. Sebagai hakim anda mengetuk palu keputusan atas keabsahan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahaman anda. Seorang hakim yang menjalankan keputusan dan ternyata keputusan itu salah maka ia sudah mendapat reward satu kali dari hukum alam dan mendapat reward dua kali apabila keputusan itu benar. Sebaliknya hakim yang tidak menjalankan keputusannya meskipun keputusan itu benar maka ia telah dihakimi salah oleh hukum alam.


Melihat kenyataan bagaimana orang membaca keadaan bisa diperoleh kesimpulan seperti orang menggambar piramida; makin ke atas makin sedikit. Sebagian besar orang tahu bahwa krisis adalah sesuatu yang tidak enak namun hanya sebagian kecil yang memahami bahwa di balik krisis terdapat peluang, dan hanya sedikit sekali, bahkan bisa disebut pengecualian, yang mengambil eksekusi untuk berani bertindak. Kalau dibanding jumlah penduduk yang melebihi 200 juta jiwa, bisa anda hitung berapa persen yang mampu membaca “The Opportunity Is Now Here”. Berada dalam kelompok manakah anda saat ini? Semoga berguna. (jp)


Mengelola Khayalan

Mengelola Khayalan

Oleh Ubaydillah, AN

Jakarta, 30 Juli 2003
Salah satu kontradiksi dalam sistem kehidupan sosial kita adalah adanya sikap "looking down" terhadap khayalan seseorang untuk "Menjadi" atau "Memiliki". Kalau anda sering mengkhayal apalagi yang dipandang lingkungan terlalu muluk, lama kelamaan akan dicap pelaku dosa sosial sambil diumpat dengan kata-kata terlalu idealis, khayalis, dan tidak realistis. Anehnya, di bagian lain sistem sosial kita malah memberi kesempatan sebesar-besarnya untuk berkhayal. Lihat saja misalnya di bandara, stasiun kereta, atau tempat antrian umum. Kalau ada seribu orang mungkin tidak lebih dari hitungan jari yang menggunakan waktu menunggu untuk membaca. Sisanya mengkhayal atau ngobrol nggak karuan.

Kalau ditelusuri asal-usulnya khayalan merupakan anak dari imajinasi di mana para orang sukses telah menggunakannya untuk menyelesaikan masalah mulai dari bisnis, profesi, dan lain-lain. Imajinasi adalah kecerdasan yang dianugerahkan dalam bentuk hiburan yang menyenangkan. Dikatakan hiburan karena imajinasi akan membebaskan pikiran dari kebrutalan (unfairness) realitas temporer. Dan mengapa dikatakan kecerdasan, karena dari imajinasilah semua ide kreatif dan gagasan inspiratif berproses pertama kali.

Sebagai anak dari imajinasi berarti kebiasaan mengkhayal tidak perlu diberantas melainkan perlu dibina dan dikelola secara tepat agar tidak menjadi makhluk mental yang liar. Selain itu, kalau kita kembalikan pada fakta kontradiktif di atas, sebenarnya sistem sosial kita hanya menolak khayalan yang liar dan menerima khayalan yang tidak liar. Seperti apakah perbedaan keduanya?

Khayalan Liar

Di antara sekian ciri khas khayalan liar adalah bahwa khayalan liar tidak memiliki hubungan keterkaitan (interconnectedness) antara apa yang kita lakukan di masa lalu, masa sekarang dan masa depan yang kita khayalkan. Umumnya kita mengkhayal tentang suatu wilayah yang sama sekali tidak dipahami oleh pikiran mental. Padahal semestinya khayalan kita berupa penjelasan ideal dari apa yang kita lakukan hari ini atau cita-cita masa lalu yang bagiannya sudah pernah kita sentuh.

Ciri khas berikutnya, khayalan liar tidak memiliki rincian yang jelas (clarity) sehingga khayalan tersebut berisi peristiwa yang terpisah (split) dan tidak memiliki relevansi secara rasional antara peristiwa satu dan lainnya. Khayalan demikian bertentangan dengan hukum alam (sebab-akibat). Padahal kalau kita mengkhayalkan suatu peristiwa ideal, khayalkan juga sebab-sebab yang paling mungkin bisa mengarah untuk menciptakan peristiwa tersebut.

Untuk mengkhayal menjadi pebisnis yang sukses, jangan mengkhayalkan jumlah kekayaan semata yang saat ini tidak kita miliki atau mengkhayalkan perilaku fisik yang tampak di luar tetapi khayalkanlah kondisi kualitas software seperti isi pikiran, isi pembicaraan, isi mental, dll. Rata-rata orang yang telah sukes di bidangnya punya keunikan kualitatif, misalnya percaya diri yang tinggi, gaya berbicara yang meyakinkan, disiplin waktu dan seterusnya.

Ciri khas lain, khayalan liar biasanya menggambarkan peristiwa hidup yang "enak-enak" di mana kita pun tidak meyakini sepenuhnya akan terjadi pada diri kita. Atau hanya berupa peristiwa yang terjadi di level "seandainya nanti". Kalau dipukul rata khayalan demikian lebih banyak berisi pengandaian "memiliki". Mestinya kita menghayal tentang hal-hal yang enak dan berisi pengandaian "menjadi". Khayalan untuk memiliki lebih sering tidak mempunyai padanan fisiknya dengan apa yang kita lakukan hari ini. Berbeda kalau kita mengkhayal untuk menjadi. Pasti dapat ditemukan bagian tertentu yang bisa kita lakukan dari mulai sekarang. Kata kunci yang membedakan adalah sekarang versus nanti.

Dampak

Aktivitas khayalan liar di dalam diri sebenarnya telah banyak membuat kita rugi. Kerugian yang sudah pasti adalah waktu dan energi padahal pada saat yang sama ada pilihan lain yang menguntungkan yaitu berpikir, berimajinasi dan bervisualisasi. Perbedaannya hanya karena faktor memilih bidang konsentrasi yang berlokasi di wilayah internal dan sama-sama gratis.

Kerugian berikutnya, kalau apa yang kita khayalkan berisi materi negatif yang menyangkut diri kita atau mengkhayalkan sesuatu terjadi lebih buruk atas orang lain tanpa alasan yang kokoh. Khayalan negatif punya daya tarik lebih kuat dan biasanya tanpa harus repot "to make it happens" sudah muncul apalagi dikhayalkan. Demikian juga dengan khayalan atas orang lain. Tanpa alasan yang jelas bisa jadi apa yang kita khayalkan dapat berbalik menimpa diri kita. Banyak peristiwa atau kiamat kecil yang muncul seakan-akan tanpa sebab, padahal peristiwa itu pernah terlintas dalam khayalan kita yang tidak diingat kapan tanggalnya.

Kerugian lain adalah berupa kualitas mental. Khayalan yang tidak memiliki akses ke sumber kehendak (khayalan memiliki yang enak-enak) bisa membikin orang malas dan lebih parahnya lagi, ketika imajinasi hendak kita gunakan untuk hal-hal yang penting dan bernilai bagi kita, kemampuan tersebut tidak bisa bekerja hanya karena kurang dibiasakan. Analoginya seperti pikiran. Kalau jarang kita pakai untuk menalar tidak berarti makin awet dan kuat tetapi makin rusak/tumpul.

Pengelolaan

Banyak alasan yang membuat manajemen khayalan dibutuhkan. Salah satunya, manajemen itu hanya berfungsi sebatas mengatur pilihan arah konsentrasi dan tidak membutuhkan sesuatu yang tidak kita miliki di samping juga, manajemen tidak akan membuat kita kehilangan apapun. Malah sebaliknya, dengan manajemen ini kita akan mendapatkan keuntungan.

Keuntungan paling besar adalah peristiwa yang kita ciptakan di alam khayalan dapat ditransfer menjadi materi visualisasi kreatif tentang cita-cita yang sudah kita rumuskan dalam tujuan ideal atau visualisasi target aktual. Kalau kita kembalikan ke definisi yang telah disusun para pakar, visualisasi adalah praktek melihat potret masa depan dengan penglihatan imajinasi. Karya besar itu, kata orang, tidak diciptakan langsung secara fisik tetapi dilihat. Apa yang sudah diciptakan orang sebenarnya hanyalah menjalani apa yang sudah dilihat di dalam alam imajinasinya.

Keuntungan lain adalah aktivitasi Otak Kanan dan Otak Kiri secara sadar. Patut kita akui selama ini hampir sebagian besar dari kita telah dicetek oleh kebiasaan menggunakan Otak Kiri mulai dari sistem sosial, sistem pendidikan dan pembelajaran hidup yang kita lakukan. Akibatnya Otak Kanan akan protes. Dampak negatif dari aksi protes tersebut adalah konflik (tabrakan) di tingkat cara kerja otak. Dengan demikian akan memperpanjang proses realisasi atau malah menjadi buyar. Kalau belajar dari kisah orang sukses di manapun berada termasuk dari orang dekat yang kita kenal, umumnya mereka terdidik untuk menggunakan fungsi kedua belahan otak tersebut. Leonardo De Vinci selain seorang seniman besar (artistic) juga seorang yang ahli bidang hitung-menghitung bisnis.

Pertanyaannya sekarang, dari mana kita mulai? Khayalan yang kita gunakan untuk memvisualisasikan tujuan ideal (cita-cita) jelas menuntut upaya merumuskan tujuan hidup seperti yang sudah diajarkan ilmu pengetahuan. Sebagaimana pernah saya jelaskan dalam tulisan yang lalu, acuan merumuskan tujuan hidup bisa menggunakan formula SMART (specific, measurable, attainable, relevant dan timescale). Formula apapun yang kita anut, intinya tujuan hidup yang kita ambil dari percikan / keseluruhan cita-cita saat masih kecil harus dapat direkam / dipotret oleh pikiran secara jelas (apa, bagaimana, kapan, mengapa, dll). Khayalan di sini berfungsi untuk memperjelas dan membuat semakin jelas, mengingat konsentrasi / fokus kita pada tujuan hidup sering terganggu oleh tawaran atau godaan yang kita setujui.

Adapun khayalan yang kita gunakan untuk memvisualisasi target aktual (apa yang bisa kita raih) hanya membutuhkan organisasi materi pekerjaan. Khayalan berfungsi untuk meneteskan gagasan atau ide kreatif bagaimana pekerjaan tersebut pada akhirnya diselesaikan. Praktek sering menunjukkan pekerjaan yang diselesaikan dengan gerakan fisik tanpa sentuhan ide hanya selesai dengan pekerjaan (capek, lelah dan membosankan).Robert Kiyosaki, dalam berbagai ceramahnya di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, selalu mengulangi ucapannya bahwa kemakmuran finansial (uang) tidak bersembunyi di dalam pekerjaan tetapi berada di alam gagasan, ide atau inspirasi. Pendapat ini klop dengan ajaran agama yang mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rizki (uang) diperoleh dari perdagangan. Tentu bukan anjuran menjadi pedagang di pinggir jalan tetapi bagaimana menyentuh pekerjaan dengan gagasan kreatif yang menjadi soko guru untung-rugi perdagangan.

Aplikasi manajemen bagi khayalan menuntut disiplin dan evaluasi. Untuk menaati disiplin dalam bervisualisasi dapat dilakukan di mana saja tanpa mengganggu rutinas. Idealnya, kita perlu memiliki waktu khusus yang telah kita beri label untuk bervisualisasi secara rutin supaya mudah bagi kita untuk mengevalusi keterkaitan antara materi khayalan kemarin dan hari ini.

Realisasi

Untuk menjadikan khayalan sebagai materi visualisasi menuntut model mental yang menempatkan materi tersebut sebagai pembelajaran diri atau materi "self education". Beberapa saran berikut mungkin dapat kita jadikan acuan menapaki proses realisasi khayalan.


1.
Jangan malas


Sebagaimana sudah disinggung breaking-down dari keseluruhan peristiwa ideal yang kita khayalkan harus berupa aktivitas yang paling mungkin untuk dilakukan sekarang. Asumsi demikian sudah klop dengan temuan teori pengetahuan fisika bahwa semua peristiwa di dunia ini tidak ada yang berdiri sendiri melainkan kemenyeluruhan yang dibentuk oleh fregmentasi partikel. Seorang karyawan yang mengkhayal menjadi direktur tertinggi di perusahaan tempat ia bekerja dapat memulai khayalan dengan memahami art atau science yang berlalu lalang di kantor dan gratis untuk dipelajari. Apa yang sering membuat kita gagal adalah penghalang (pagar mental) yang kita ciptakan sendiri dan kita yakini pagar tersebut tercipta oleh kekuatan di luar diri kita. Pagar tersebut adalah rasa malas untuk memulai melakukan dengan berbagai alasan yang sudah kita yakini benar, tentunya.


2.
Jangan takut


Selain membutuhkan perlawanan terhadap kemalasan, merealisasikan khayalan juga perlu melawan rasa takut. Umumnya khayalan yang sulit direalisasikan bukan karena terlalu muluk tetapi terlalu rendah, tidak jelas dan takut kita yakini benar-benar terjadi. Padahal kalau dipikir, risiko paling fatal dari sebuah khayalan adalah tidak terjadi apa-apa kecuali khayalan kita lebih rendah dari harapan atau tujuan.


3.
Jangan malu


Dalam sistem sosial yang sedemikian kontradiktif, umumnya terjadi perlakuan bahwa kalau ada orang gagal menjalankan gagasannya maka orang itulah yang pantas malu, apalagi jika ia pernah melontarkan khayalan tentang cita-cita. Treatmen demikian sebenarnya adalah refleksi dari diri kita. Perlu kita ingat, sebagian besar dari derita rasa malu yang kita rasakan tidak diciptakan oleh persepsi orang lain tentang kita tetapi diciptakan oleh persepsi kita tentang sosok kita yang memalukan menurut persepsi kita. Sementara orang lain adem-adem saja. Meskipun demikian ada siasat yang diajarkan dari sejak dahulu kala yaitu jangan mudah obral khayalan kecuali pada orang, moment dan bidang tertentu.


Kalau kita pikir ulang, menjalani aktivitas mengkhayal sebenarnya adalah bentuk dari kepatuhan kita terhadap adanya hukum "possibility & opportunity". Sayangnya kitalah yang sering meyakini (menukar) possibility tersebut dengan impossibility (kemustahilan) dan opportunity dengan ancaman atau kepastian. Dengan tulisan ini mudaha-mudahan anda menyadari hal itu. Semoga berguna. (jp)



Modal Menjadi Pengusaha


Modal Menjadi Pengusaha

Oleh Ubaydillah, AN

Jakarta, 17 April 2006

Dua Modal Utama

Menjelang tahun baru kemarin, saya pernah menerima email dari seseorang yang isinya kira-kira begini:

Pak, saya agak bingung menghadapi tahun 2006 ini. Seringkali saya sudah merasa bosan pada pekerjaan sekarang ini. Pekerjaannya itu saja-saja, gajinya segitu-gitu aja, dan suasana kerjanya sudah tidak menarik lagi buat saya. Rasanya, langkah saya sudah menthok sampai di sini bila saya memilih untuk terus bekerja di tempat kerja sekarang ini. Obsesi saya saat ini adalah ingin punya usaha sendiri. Cuma saja, saya belum tahu usaha apa yang cocok dengan saya. Ada kawan yang mengajak mendirikan perusahaan kecil-kecilan secara patungan dengan modal senilai harga motor yang saya miliki. Saya ingin meng-iya-kan ajakan itu. Tetapi terkadang saya takut seperti kawan saya yang lain. Awalnya sih ingin punya usaha sendiri tetapi karena bangkrut, akhirnya menjadi karyawan lagi, menulis surat lamaran lagi, menunggu panggilan lagi. Dengan asumsi adanya peningkatan gelombang PHK akibat kenaikan BBM dan lain-lain, mencari pekerjaan baru lagi bukan soal yang mudah kan, Pak . . . . ?

Saya yakin di dunia ini ada banyak orang yang menghadapi masalah antara kebosanan dan kebimbangan semacam itu, meski detail-detailnya berbeda. Kita sudah bosan dengan pekerjaan kita saat ini tetapi di sisi lain kita belum benar-benar punya kejelasan langkah (determination) yang utuh di kepala tentang pilihan yang baru. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Antara penting dan utama

Penting manakah modal tangible dan modal intangible? Kalau pertanyaannya adalah penting mana, tentu harus dijawab keduanya penting. Berusaha butuh modal material – finansial seperti halnya juga butuh modal akal (intangible). Tetapi jika pertanyaannya adalah, manakah yang harus diutamakan lebih dulu, maka pengalaman sejumlah pengusaha dan kesimpulan pakar di bidang usaha, mengatakan bahwa modal intangible harus lebih dulu diutamakan.

Tidak saja Henri Ford yang mengakui ini. Pak Bob Sadino, Pak Cik, dan Bu Martha Tilar, rupanya juga kesimpulan yang sama. “Banyak sekali orang yang menerjemahkan modal dengan uang atau benda-benda. Sebetulnya dari pengalaman saya, modal intangible itu awal yang nantinya diikuti oleh modal tangible”, jelas Pak Bob (majalah Manajemen, April, 2003)

Apa yang dikatakan Pak Bob itu rupanya memiliki esensi yang sama dengan kesimpulan George Torok. (George Torok,The Yukon Spirit: Nurturing Entrepreneurs ,www.torok.com).Torok yang banyak melakukan penelitian terhadap kehidupan para pengusaha menyimpulkan bahwa tidak semua orang yang punya modal tangible bisa disebut pengusaha. Bisa saja mereka menjadi pengusaha dalam waktu seminggu sebulan atau beberapa bulan ke depan tetapi selebihnya mereka bukan lagi pengusaha. Menurut Torok, modal intangible yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha adalah:

§ Memiliki dorongan batin yang kuat untuk maju (personal drive)

§ Memiliki fokus yang tajam tentang apa yang dilakukanya dan kemana dia akan membawa usahanya (focus)

§ Memiliki kemampuan yang kuat untuk berinovasi (produk, sistem, cara, metode, service, dst)

§ Memiliki sikap mental “Saya bisa” (The I can mental attitude) dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kedatangannya seperti tamu tak diundang

§ Memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan (berdasarkan pengetahuan, pengalaman, skill, intuisi, dan akal sehatnya)

§ Memiliki kemampuan untuk “tampil beda” atau memunculkan keunggulan-keunggulan (kreatif)

Mengapa harus lebih dulu diutamakan? Saya tidak tahu alasan spiritual-mistikal yang mengilhami para pengusaha itu berkesimpulan demikian. Tetapi secara logika, ada sedikitnya dua alasan yang bisa kita pahami:

Pertama, seandainya kita punya modal tangible yang bagus tetapi kita tidak memiliki modal intangible yang bagus, maka modal tangible kita bukan malah akan bertambah. Modal itu akan berkurang dan bahkan bukan tidak mungkin akan ludes. Contoh-contohnya sudah seabrek di sekeliling kita. Tetapi seandainya kita punya modal intangible yang bagus sementara kita tidak memiliki modal tangible yang berlimpah, ini masih bisa diatasi. Sudah banyak kita saksikan pengusaha yang mengawali usahanya dengan modal yang sedikit atau pas-pasan bahkan kurang (istilahnya modal dengkul), tetapi karena ulet, kreatif, tekun, dan punya jaringan yang luas, akhirnya usaha itu mengalami kemajuan yang menggembirakan.

Kedua, keahlian tidak bisa dibeli atau tidak bisa dipinjam dari orang lain. “You cannot buy the skill to be great”. Uang bisa dipinjam, gedung bisa disewa atau boleh numpang sementara, produk bisa ‘nge-sub’ tetapi keahlian menjalankan bisnis, tentu tak mengenal istil beli, pinjam, apalagi ngesub atau numpang. Kalau Anda tidak bisa atau tidak ahli, maka buktinya langsung nyata dalam bentuk antara lain: gagal, rugi, tidak efektif, tidak efisien, tidak untung, dan lain-lain.

Ada kebenaran umum (folk wisdom) yang terkadang lupa kita pikirkan secara masak. Kita sering mendengar ada orang mengatakan, “Orang ahli kan bisa dibeli. Apa susahnya kita merekrut sarjana ahli lalu kita gaji untuk menjalankan bisnis kemudian kita tinggal menerima untungnya saja …. “. Kebenaran umum seperti ini memang benar tetapi prakteknya tidak benar bagi semua orang. Bagi mereka yang sudah ahli dalam me-manage manusia, kebenaran umum ini benar. Tetapi bagi yang belum punya keahlian dalam hal “managing people”, seringkali kebenaran umum itu belum benar di lapangan. Belum benar di sini artinya rencana kita gagal karena kita tidak memiliki keahlian yang memadai dengan masalah yang kita hadapi.

Kesimpulannya, menerjuni usaha di bidang apapun memang butuh uang, butuh dana, butuh fasilitas, butuh materi. Modal tangible seperti ini wajib hukumnya. Tetapi, memiliki modal tangible yang memadai belum dapat menjamin kelangsungan usaha. Untuk poin yang terakhir ini lebih banyak ditentukan oleh modal intangible yang kita miliki. Modal intangible di sini adalah “kualitas SDM” kita yang sesuai dengan bidang usaha yang kita geluti. Modal yang terakhir inilah yang akan menentukan apakah kita akan menjadi pengusaha sebulan atau seumur hidup.

Memang benar bahwa yang diinginkan oleh semua orang adalah memiliki modal tangible yang berlimpah (punya cadangan uang cash berlipat, punya fasilitas kerja yang lengkap, dan punya kantor yang representatif) dan juga modal intangible yang bagus (punya kemampuan berbisnis yang handal, punya kemampuan mengolah produk yang bagus, punya kemampuan memasarkan produk yang jitu, punya kemampuan membina jaringan yang kokoh, dan lain-lain).Cuma saja, keadaan ideal itu sangat jarang terjadi.

Tak hanya itu, memiliki modal tangible yang bagus dan memiliki modal intangible yang bagus pula, biasanya terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab, atau sebagai sebuah hasil dari sebuah proses. Artinya, pengusaha yang memiliki keduanya adalah pengusaha yang sudah berhasil menjalankan usahanya, bukan orang yang baru memulai berusaha. Untuk orang yang baru memulai merintis usaha, problem umum yang dihadapi adalah problem yang muncul sebagai akibat adanya keterbatasan, antara lain: terbatas modalnya, terbatas SDM-nya, terbatas, materinya, terbatas fasilitasnya, terbatas dalam mengantisipasi perubahan, terbatas pelanggannya, dan lain-lain. Karena itulah, maka modal intangible jauh lebih perlu didahulukan.


STREET SMART


Ada dilema tersendiri yang harus dihadapi oleh calon pengusaha pemula. Kalau ia batalkan keinginannya untuk menjadi pengusaha karena takut resiko, takut pada berbagai kemungkinan buruk, tentu saja ia tidak akan pernah menjadi pengusaha atau tidak akan pernah paham seluk beluk memulai usaha. Tetapi, bila ia terus nekad untuk menjadi pengusaha dengan modal pas-pasan, tidak berarti ini akan ada jaminan berhasil. Gagal dalam arti “tembakan kita meleset” tentu ini biasa dalam usaha. Tetapi gagal dalam arti kehabisan peluru, kehilangan sumber penghasilan, menanggung hutang, kehilangan pekerjaan, tentu ini beda efeknya bagi kita.

Jadi, bagaimana berkelit dari dilema yang sulit seperti ini? Kalau dijawab dengan kata-kata, mungkin tidak akan habis kita menulisnya dengan tinta air laut. Ada sekian jawaban, ada sekian alternatif, dan ada sekian opsi. Sebagai tambahan dari jawaban yang sudah kita miliki, saya ingin mengingatkan satu istilah yang sangat populer di dunia usaha. Istilah itu adalah street smart. Menurut pengertian yang lazim dipahami, street smart artinya cerdas di lapangan. Gambaran aplikatifnya mungkin pernah dijelaskan oleh Pak Bob dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun lalu (Majalah Manajemen, April 2003):

“Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus dan mengatasi masalah.”

Street smart termasuk modal intangible yang luar biasa peranannya. Saya pernah membaca hasil survei yang menanyakan tentang sejauhmana relevansi antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan hari ini (ExecuNet: 2005). Hasilnya tercatat seperti berikut:

- 46 % menjawab relevansi itu sangat dekat.

- 39 % menjawab relevansi itu ada

- 15 % menjawab relevansi itu tidak ada sama sekali

- 84 % menjawab begini: "street smarts" is more important in business than an advanced degree.

Jadi, yang diperlukan dari kita adalah kecermatan, keberanian dan kesiapan. Kita perlu cermat agar terhindar dari resiko usaha yang bernama kegagalan dalam bentuk kehabisan peluru atau menanggung hutang yang berat untuk kita. Kalau bisa, maksimalnya resiko itu hanya berupa kegagalan dalam bentuk meleset sementara atau belum untung banyak. Kita perlu keberanian melawan ketakutan yang biasanya membisikkan teror: “bagaimana nanti kalau gagal”, “jangan-jangan nanti ….”, dan lain-lain. Selama ketakutan semacam itu belum bisa kita atasi, sebaiknya kita sembunyikan lebih dulu keinginan kita menjadi pengusaha. Kita juga perlu kesiapan mental untuk menumbuhkan bangkitnya kecerdasan yang bernama street smart.